Kamis, 01 Februari 2018

Seteguk Pekatnya Kopi

Pagi ini diselimuti embun tipis dingin yang memenuhi alam sekitarku. Jalanan Sudirman ini sudah sesak dengan roda-roda yang saling memacu kecepatannya. Kakiku hanya sibuk dengan menapakkan dirinya ke trotoar kecil di kiri jalan. Pohon-pohon pembatas bergerak seiring semilir angin yang sempat menghantamnya. Bau asap kendaraan jalanan mulai merasuki kedua lubang hidungku.
“Haaahh.” aku menghela nafas mengisi setiap bulir kantung udara di paru-paruku. Begitu segar dan begitu nyaman. Aku memanjangkan setiap hisapan nafasku demi berusaha memaksimalkan oksigen yang benar-benar baik untuk diriku ini. Yaa walaupun setelah itu beberapa batang rokok akan bertengger di sela mulutku ini.
Suasana pagi seperti pagi-pagi sebelumnya, tidak ada yang berubah, dan hanya membuatku bosan dengan segala lika-liku kehidupannya. Mungkin berjalan menyelusuri trotoar ini sudah sekian ratus kalinya aku lakukan. Hanya satu yang aku tuju. Tepat beberapa ratus meter lagi dari tempatku. Sepetak ruko kecil berisikan orang-orang yang duduk menunggu secangkir kopinya, mengadu perbincangan di tengah meja, ataupun hanya duduk terpaku menatap layar sambil memburu internet gratis yang menjadi salah satu daya tarik di kedai kopi ini.
Aku melangkah dan terus melangkah lagi. Satu langkah untuk setiap helaan nafas. Aku menatap ke depan melihat petak demi petak plavin box yang menuntunku ke suatu arah. Mataku tidak henti-hentinya memicing ketika mobil yang lewat membawa debu yang akan menerpa wajahku. Namun mataku masih bisa mengedarkan pandangannya agar aku tetap dalam garis tujuanku.
Ya benar, guru-guruku dulu pernah mengatakan bahwa apa yang kita lakukan di masa sekarang adalah perwujudan apa yang kita lakukan di masa lalu dan apa yang kita lakukan sekarang adalah bayang-bayang apa yang kita dapatkan di masa depan. Sebuah relasi yang begitu nyata teraplikasikan dalam kehidupan ini. Kesuksesan ataupun keterpurukan itu tergantung dari apa yang kalian pikirkan lalu direalisasikan melalui apa yang kalian lakukan. Entah mantra apa yang pernah aku ucapkan, yang pastinya aku pernah melakukan sesuatu yang merubah hidupku. Percaya atau tidak aku mempelajarinya melalui seteguk pekatnya kopi.
Sendal jepitku terselipkan sebuah makna, ini sudah mau dibuang. Namun aku masih mempertahankannya, hanya dia yang menjadi pelapis kakiku menapaki paginya di jalanan Sudirman ini. Sebenarnya harga sandal “Jepang” ini tidak sebanding dengan apa yang ada di kantongku, hanya saja segala kesibukan yang melanda membuatku tidak sempat untuk mengurus hal yang menjadi alas kakiku ini. Mataku sebenarnya masih sembab karena kantuk, namun disana ada penawar kantukku. Segelas kopi hitam yang menjadi pilihanku untuk mengawali hari.
Ya benar saja. Baru beberapa langkah aku memasukinya, bau khas kopi dengan segala pelengkapnya menghiasi ruang kecil ini. Segala tawa dan senyum terpancar saat mereka mulai mengadu perbincangan hangat di tengah-tengah meja. Kadang terselip pula suara koran yang mereka bolak-balikkan demi secuil informasi tentang permasalahan peliknya dunia ini.
“Gubernur Riau tertangkap kasus korupsi.” kataku pelan saat melihat judul besar koran ini. Tertawa kecil menyadari alangkah lucunya negeriku ini. Sebuah topik pembicaraan hangat di meja kedai kopi selain pertandingan bola tadi malam. Dengan gaji yang lebih dari cukup, mereka masih bisa tergiur dengan segala godaan itu. Sebuah amanat tergugurkan demi secuil keserakahan yang timbul di benaknya.
Kopiku datang dengan sepiring pisang goreng pesananku. Sarapan sederhana yang membawa energi lebih bagi siapa saja yang mengert tentang nikmatnya kopi. Beberapa potong pisang goreng menambah sensasi dari sarapan pagi ini. Aroma kopi yang memikat jariku untuk mengangkat cangkir itu dan menyeruputnya.
Sebagian orang mengatakan bahwa nikmatnya kopi berasal dari pahitnya, sebagian lagi mengatakan dari manisnya, sebagian lagi mengatakan berasal dari aroma khasnya. Aku mencari-cari sebuah titik dimana kita bisa merasakan darimana nikmatnya kopi ini berasal. Semua itu bermula dari pria tegap berkameja rapi di sudut sana. Amran namanya. Seorang pemikir ulung mengenai kehidupan ini. Wawasannya yang luas bahkan melebihi guru-guruku pada saat itu. Kutu buku sejati yang membuka jendela untuk melihat dunia yang luas ini. Ia masih sama seperti dulu. Kebiasaan memulai hari dengan secangkir kopi selalu melekat dengannya. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Akhirnya Allah memberi kesempatan itu di pagi hari ini.
“Seteguk pekatnya kopi.” kataku di balik koran yang kubaca. Aku rasa ia mendengarnya. Mataku mengintip sedikit. Ia tampak merespon panggilan tersiratku tadi.
“Seteguk pekatnya kopi.” ia bangkit dari duduknya. Sepatu pantofelnya beradu dengan licinnya lantai berkeramik. Setelan kameja begitu rapi namun tidak serapi dengan wajahnya yang lusuh dimakan usia. Kedua sudut bibirnya melebar membentuk senyum. Matanya yang sipit memicing menyembunyikan bola matanya. Sebuah tahi lalat di pipinya memaniskan wajahnya pada saat itu dan di puja-puja para wanita sekampus. Kami sama-sama berjuang mendapatkan gelar sarjana di kampus yang sama saat itu. “Assalamualaikum.” ia menjabat tanganku.
“Waalaikumsalam.” tanganku mempererat jabat tangan kami. Ia duduk di hadapanku. Kedua tangannya melambai ke pegawai kedai kopi agar mengatar kopi milkiknya ke meja tempat kami duduk.
“Apa kabar? Sudah lama tak berjumpa. Tak terasa 25 tahun kau sudah menghilang.” tanyaku sambil menyeruput kopi pahit itu. Terasa pekat dan melekat ke langit-langit mulut. 
“Baik tapi teralu banyak perubahaan.” ia menaikkan alisnya. Aku tahu gelar doktor yang ia dapatkan membawa banyak perubahan pada dirinya. Lihat saja kepalanya yang mulai botak karena terlalu sering memikirkan berbagai teori yang ia pelajari. “Bagaimana dengan engkau Zaki?” ia bertanya balik. Jarinya mengangkat gagang cangkir kopinya.
“Baik juga. Seperti yang kau katakan, tidak ada yang pasti kecuali perubahan itu sendiri.” aku tertawa kecil mengingat perkataan itu. 
“Ya betul, kau sepertinya sudah banyak berubah. Satu yang tidak berubah, sandal jepit itu dan yang paling utama secangkir kopi yang ada di hadapanmu.” ia tersenyum simpul. Tampak mulutnya menahan panas pisang goreng yang baru saja masuk ke mulutnya.
“Kau yang mengajarkanku tentang arti dari semua itu. Kau yang memperlihatkanku arti dunia ini melalu secangkir kopi yang ada di hadapanmu.” aku mengambil rokok dan menyulutnya. Bunyi tembakau terpanggang mulai terdengar seiring dengan bau khasnya yang menggugah seleraku untuk menghisapnya dalam-dalam. Arman tampak menolak rokok yang kutawarkan. 
“Hahahaha itu hanya caraku untuk menghiburmu saat frustasi mengerjakan skripsi.” kalimatnya membuatku teringat sewaktu perjuanganku sewaktu muda dulu. 
“Tidak, kau salah. Itulah yang merubah hidupku. Apa gerangan yang membuatmu kembali ke kota yang kadang berasap ini?” tanyaku. Ia sempat berpikir sejenak. Aku sebenarnya tahu apa yang ia jawab. Biarlah dirinya yang mengungkapkan semua.
“Aku akan kembali ke kampungku dan mengolah kebun karet yang sudah lama aku siapkan untuk hal ini. Kau tahu apa yang kuketahui. Perusahaaku tidak ada harapan lagi. Keluargaku akan pindah ke kampung halamanku.” dahinya tampak berkerut. Hatinya tentu saja menyembunyikan kecemasaannya. Aku hanya bisa mengangguk menanggapi perkataannya.
“Kau benar, secangkir kopi itu juga benar. Ia tak hanya sebuah minuman berwarna hitam pekat dengan kombinasi rasa pahit dan manis di dalamnya. Sebuah representasi akan realitas kehidupan.” kataku
“Hidup kadang kala manis dan kadang kala pahit seperti yang kurasakan. Aku rasa kau pengingat yang baik.” ia melanjutkan kalimatku. Nadanya terdengar datar tidak seperti hati yang mungkin saja bergelombang di sulut perasaan cemasnya.
“Memang hidup ini ada pahit manisnya. Namun kau juga tahukan warna kopi itu masih hitam? Sebuah hakikat hidup yang penuh misteri. Kenapa kau tidak mencoba pekerjaan yang sesuai dengan titel doktormu, Siapa tahu kau akan bangkit lagi. Ini malah balik menjadi petani. Tidak malukah kau balik ke kampung dengan membawa kegagalan. Kau mengajarkanku tentang hal itu.”
“Kadang manusia mengatakan hal yang tidak mampu ia lakukan Zak. Waktu itu hanyalah perkataan kosong.” kini nadanya penuh dengan keputusasaan. Mulutnya masih berusaha menyeruput secangkir kopi itu.
“Hahaha kau terlalu naïf dengan mempercayai perkataan putus asa itu. Coba kau minum kopi itu kembali. Apa yang kau rasakan.” aku menunjuk kopi yang tinggal setengah di hadapannya. Ia meminumnya. “Pahit bukan?” tanyaku. Ia tampak membuka mata menyadari sesuatu ada yang menjanggal. Ia tersenyum.
“Rasa pahit perlahan berubah menjadi manis yang menggelitik lidah kita dan tanpa disadari mengukir senyum pada wajah.” ia tertawa menyadari bahwa kalimat itu pernah ia katakan kepadaku tepat dua puluh tahun yang lalu. 
“Tidakkah kau rasakan perubahan rasa itu? dan mengapa kau masih meminumnya walaupun kau tahu rasa pahit dari kopi itu? Karena di rasa pahit itu ada rasa manis yang tersirat. Kau masih bisa tersenyum setelah itu. Itulah hidup kawan. Kau masih harus berjuang. Kau terlalu lemah dengan keputusasaanmu.”
“Kau benar, aku lemah. Tidak jarang momen-momen pahit yang membuat kita merasa sedih, terluka, dan bahkan berduka.” ia mengangguk. Aku menarik nafas. “Kau masih percaya dengan titik balik?” tanyaku lagi.
“Maksud kau aku bisa membalikkan keadaan terpurukku ini? Hahahah siapa yang ingin menerima orang setua diriku ini.” ia tertawa lalu menyeruput kopinya hingga seperempat.
“Siapa bilang? Datanglah ke kantorku. Aku masih membutuhkan orang sepintar diri kau. Akan kutunjukkan sejatinya arti dari Seteguk pekatnya kopi.” aku menyerahkan kartu nama beserta jabatanku. Aku segera tegak dan meninggalkan ia seorang untuk mencerna semua perkataanku. Aku tidak percaya Arman serapuh ini. Ia dulu bahkan mengajarkanku semua itu melalui secangkir kopi hingga aku bisa berdiri seperti sekarang.
Ia menghentikanku dengan perkataannya. Matanya tampak tidak percaya. “Kau pemimpin perusahaan?” tanya dirinya. Aku terhenti di atas sandal jepitku. “Menurut kau saja bapak seteguk pekatnya kopi.” aku tersenyum meninggalkannya. Semoga ia besok datang.
***

create  by :ilham nofrizal haris

1 komentar:

Rumahku

Karya : Iqbal Permana Putra Rumahku, temapat ku bernaung Dari teriknya matahari Derasnya hujan yang menimpa Hingga dinginya suasa...